Tradisi Indonesia - Epos kepahlawanan bupati pertama
Banyuwangi, Raden Mas Alit menjadi inti cerita dan dikemas dalam tema
Layar Kemendung. Tema ini masih berkaitan dengan tahun-tahun sebelumnya
yang juga mengangkat gending-gending pengiring Gandrung seperti Podo
Nonton, Seblang Lukinto, dan Kembang Pepe.
Tari Gandrung sendiri merupakan tarian kebanggaan
masyarakat Bumi Blambangan yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya
Bukan Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. Pada tahun kedelapannya ini, Pantai Marina Boom Banyuwangi,
Jawa Timur sudah penuh dipadati ribuan wisatawan. Sejak pagi, wisatawan
mancanegara (wisman) dan wisatawan nusantara (wisnus) hilir mudik
berdatangan untuk menyaksikan pagelaran kolosal Gandrung Sewu 2018.
Gandrung Sewu 2018 sendiri mengusung tema “Layar
Kumendung” yang ini melibatkan sebanyak 1173 penari, 64 penampil
fragmen, dan 65 pemusik.Di pertunjukkan ini koreografi tarian diselingi
dengan fragmen drama Layar Kumendung dengan perbandingan 70 persen
tarian dan 30 persen fragmen.
Persiapan Penari Gandrung
Jauh hari sebelum penyelenggaraan, para penari gandrung
dipilih dari sekolah dasar hingga universitas yang ada di Jawa Timur.
Mereka latihan sebanyak 5 kali sebelum hari penyelenggaraan. Antusias
mereka mengikuti Gandrung Sewu ini pun turut mengangkat semangat
pagelaran ini secara keseluruhan. Dukungan keluarga dan sekolah membuat
budaya ini terus teregenerasi.
Saat hari penyelenggaraan, penari-penari gandrung beserta
tim perias mempersiapkan diri sedari dini hari. Mengingat ada beberapa
kelompok penari gandrung yang berlokasi jauh dari Pantai Marina Boom,
banyak dari mereka yang memilih menginap di sekolah-sekolah dan kantor
sekitar Pantai Marina Boom. Mereka harus sudah bangun sejak jam 2 pagi.
Tim perias langsung persiapkan alat dan penari gandrung satu persatu
mulai dirias. Sesekali penari gandrung yang sudah dirias pun harus
merias ulang agar riasannya tidak rusak.
Setelah selesai proses riasan, para penari gandrung
memilih Omprog yang nyaman di kepala mereka. Omprog ini adalah hiasan
kepala atau mahkota yang digunakan para penari gandrung hingga menutupi
seluruh rambut. Kenyamanan Omprog menjadi penting karena mereka akan
menari sepanjang hari dengan kondisi kepala hingga ke belakang leher
tertutup. Untuk membuat nyaman kepalanya, mereka menggunakan pengikat
kepala agar Omprog tidak bergerak-gerak.
Fisik mereka pun dipersiapkan secara maksimal, mengingat
mereka harus menari di tengah terik matahari Pantai Marina Boom. Selain
itu, mereka harus menari dengan alas kaki yang tipis. Sedangkan bagian
bawahnya, mereka menggunakan kain batik bermotif batik-batik khas
Banyuwangi, salah satunya adalah Gajah Oling.
Tari Kolosal Sarat Pesan Sosial
Jam sudah menunjukan pukul 13:00, para penari gandrung
sudah berkumpul di lokasi yang berupa tanah lapang berpasir hitam.
Sengatan matahari membuat, pasir terasa panas. Di tengah acaranya, setting kapal tentara Belanda akan menjadi latar tarian. Semakin megah lagi dengan latar belakang gugusan pulau dan selat Bali. Dengan setting seperti, Festival Gandrung Sewu ini tidak hanya menarik dari sisi cerita, tapi juga pandangan mata.
Penari Gandrung pun terbagi di beberapa posisi dan masuk
secara perkelompok disesuaikan dengan fragmen-fragmen tarian. Dibuka
dengan kehadiran Raden Mas Alit yang menggunakan baju berwarna emas dan
mahkota menjulang. Gambaran perjuangan Raden Mas Alit di usianya yang
masih muda, ia harus berjuang melawan VOC, meski akhirnya ia gugur dalam
ekspedisi pelayaran tersaji apik.
Kisah kepahlawanan tersebut dikemas dalam fragmen menarik,
tawa dan tepuk tangan dari penonton juga tidak berhenti diberikan.
Selain menjadi ikon Banyuwangi, Gandrung Sewu juga merangkap menjadi
media untuk pengingat sejarah pahlawan yang telah berjasa.
Kini Gandrung Sewu hanya dibawakan selama 60 menit, namun
dahulu digelar semalam suntuk. Dulu tarian ini dibawakan oleh anak
laki-laki yang didandani menyerupai perempuan. Tapi, sejak 1910-an
dipentaskan oleh perempuan dan gandrung pria pun punah. Tari Gandrung
Sewu sendiri merupakan perwujudan rasa syukur masyarakat kepada Dewi Sri
setelah masa panen. Sementara dalam penyajiannya diiringi musik khas
perpaduan dari budaya Jawa dan Bali.
Satu persatu kelompok penari gandrung berkumpul di tengah
lapangan. Jelang akhir acara, para penari-penari gandrung mengajak
penonton untuk turut menari. Masyarakat tumpah ruang mendekat para
penari gandrung, dan acara pun ditutup dengan tepuk tangan dan
kegembiraan. Penonton dari berbagai daerah menggunakan kesempatan ini
untuk berfoto bersama penari. Wisatawan asing dan nusantara membaur
menjadi satu dan saling berbagi kegembiraan dan keceriaan di Festival
Gandrung Sewu 2018.